Oleh :
Nitanel Imanuel Nokas,S.Pd
Guru Honorer SMA Negeri 1 SoE
Dalam kurikulum pendidikan nasional, sejarah
dimasukan ke dalam salah satu kategori atau kelompok ilmu yang sangat penting
dalam membentuk karakter generasi bangsa. Akan tetapi sejarah selalu dipandang
dilematis dalam pelaksanaan pembelajarannya, hal ini dipengaruhi oleh kejenuhan
dalam muatan materi yang terlalu mengutamakan esensi sejarah yaitu masa lalu
atau yang telah berlalu.
Seperti yang kita ketahui secara umum sejarah
lebih banyak mengkaji tentang suatu peristiwa yang telah berlalu, termasuk juga
berita factual mengenai kejadian-kejadian yang berkaitan dengan kehidupan
manusia. Disini sejarah memang terdengar menjemukan dan akan muncul berbagai macam
pertayaan yang berbentuk pernyataan sebagai suatu bentuk penolakan semisalnya
“untuk apa di pelajari? Apalagi dijadikan suatu bagian dari ilmu pengetahuan!!
Toh peristiwanya sudah berlalu!#”
Nah disini kita bisa ketahui bahwa yang
disangsikan dari ilmu sejarah adalah tentang barang-barang peninggalan kuno
yang berupa fosil, artefak, perhiasan, bangunan, kebudayaan, alat rumah tangga,
alat berburu, senjata ataupun orang-orang yang telah mati. Kita juga
mendapatkan bahwa dengan mempelajari masa lalu itu hanyalah cara untuk
menghindari masalah sekarang yang hidup. Jadi bisa saja muncul suatu kesimpulan
bahwa mempelajari sejarah adalah hal yang sia-sia.
Pandangan
seperti ini berarti melupakan kenyataan bahwa masa bentuk masih tampak disekitar
kita. Bermacam-macam persoalan dewasa ini tidak mungkin dapat dimengerti
sepenuhnya apabila tidak mengetahui latar belakang sejarahnya.
Pengajaran
sejarah merupakan hal yang vital dalam paradigma kebangsaan. Sejarah bukan
hanya membincangkan tentang masa lalu an sich, tapi juga sesuatu yang
menciptakan masa kini dan masa depan. Internalisasi masa silam dalam paradigma
pendidikan nasional sudah tentu merupakan inisiasi strategis untuk mencetak
pribadi intelek yang memahami kekinian dengan perspektif kelampauan. Pekerjaan
ini sangat penting dalam rangka menggugah kesadaran nasionalisme dan kecintaan
akan Tanah Air kepada generasi muda.
Dalam
memasuki era globalisasi, peran strategi pendidikan sejarah adalah memperkuat
kemampuan sumber daya manusia. Persoalannya adalah bagaimana pengembangan
pendidikan Sejarah untuk menjadi pendidikan intelektual dan pendidikan nilai
social yang handal dan dirasakan mamfaatnya oleh peserta didik sendiri dan
masyarakat dan juga bangsa dan Negara pada umumnya. Pada tantangan ini
bagaimana arah pembangunan epistemologi dan strategi peningkatan mutu
pendidikan sejarah agar dapat menanamkan kekuatan intelektual dan emosional
pada peserta didik untuk memberdayakan potensi dirinya.
Dalam
pengertian yang sempit kata “sejarah” dipakai untuk menunjukan karakteristik
perbuatan manusia. Manusia sebagai enssociale
artinya sebagai makluk social dan suatu kebahagiaan berganda masyarakat. Dengan
demikian subjektum-subjektum sejarah adalah manusia dan objektum-objektum
sejarah adalah perbuatan, pekerjaan, atau hasil usaha manusia. Jadi pengajaran
sejarah bukan saja bertumpu pada peninggalan yang bersifat kebendaan atau orang
yang telah meninggal akan tetapi dari perbuatan-perbuatan tersebut kita dapat
bercermin dan menilai perbuatan-perbuatan mana yang merupakan kegagalan dan
mana yang merupakan keberhasilan. Sehingga kalau kita simpulkan secara
edukatif, sejarah mendidik manusia agar tidak terjebak pada pusaran kesalahan
yang sama.
Pola
pemikiran yang demikian menempatkan sejarah sebagai pendidikan moral yang dapat
diibaratkan sebagai cermin yang dapat memantulkan bayangan dari suatu perilaku.
Perilaku sebagai sebab dan bayangannya sebagai akibat.
Sejarah
merupakan dialog yang tak kunjung usai. Ya! dan Akan selalu ada topik baru yang
ditampilkan dari masa silam. Kiranya sudah bukan zamannya, apabila pengajaran
sejarah di sekolah masih mengajak peserta didiknya “bertamasya ke masa silam”
dengan mengabaikan korelasinya dengan masa sekarang. Seiring laju dunia
keilmuan yang kian berkembang, pengajaran sejarah pun seyogyanya dapat
menyematkan sudut pandang baru agar sejarah tidak lagi menjadi mata pelajaran
yang menjemukan. Memang, ketika mengajarkan sejarah ke peserta didik, narasi
masa lalu menjadi penjelasan utamanya. Seiring berjalannya waktu, kebosanan peserta
didik sedikit terjembatani dengan adanya multimedia. Ilustrasi bergambar
agaknya cukup menarik diperhatikan. Namun begitu, dari segi konten, materi
sejarah agaknya belum banyak berubah. Masih didominasi oleh cara pandang masa
lalu. Seakan, sejarah adalah sesuatu yang sudah lewat, hanya bisa dikenang.
Kenyataan
tersebut sebenarnya bertolak belakang dengan esensi pengajaran sejarah
sebenarnya. Adagium “sejarah adalah cerminan masa depan” agaknya perlu ditinjau
ulang. Jangan lagi pola pengajarannya membawa peserta didik ke masa lalu, tapi
mulai ditekankan pada nilai guna sejarah. Salah satu yang relevan adalah
menghadirkan pola pengajaran “ke belakang” dan “ke depan” atau mengajarkan
sejarah sebagai penopang realitas kekinian. Tentu akan banyak aspek baru yang
didapatkan dari formula ini.
Salah
satu Konsep Pembelajaran yang tepat adalah konseptual dengan mengaitkan
peristiwa yang telah berlalu dengan realitas atau konteks kekinian ternyata
lebih membuat ketertarikan peserta didik dalam pembelajaran sejarah. Contextual
Teaching and Learning (CTL) yang berarti hubungan, konteks, suasana dan keadaan
(KUBI, 2002 : 519) dapat di artikan dengan suatu pembelajaran yang berhubungan
dengan suasana tertentu. Secara umum kontekstual mengandung arti yang berkenan
relevan, ada hubungan atau kaitan langsung mengikuti konteks, yang membawa
maksud dan makna dan kepentingan.
Menurut
DepDiknas (203 :5) Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan perencanaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai
suatu contoh Masa ketika Indonesia memasuki periode kerajaan-kerajaan besar
adalah abad emas yang patut dibanggakan. Banyak aspek kemajuan yang belum
diungkap di tataran pendidikan formal. Seiring perjalanan waktu, cukup banyak
memori kolektif bangsa yang justru di masa kini menjadi isu yang banyak
diperbincangkan. Sebagai contoh, konsep ekonomi maritim global, ekonomi
agraris, ketahanan negara serta kemajuan taraf intelektual, menjadi beberapa
tema pokok yang dahulu pernah berkembang di Nusantara di bawah
kerajaan-kerajaan besar. Penekanan kekhasan suatu kerajaan merupakan modal
penting dalam mewujudkan pengajaran sejarah yang kontekstual dengan kekinian.
Penggunaan
metode tersebut dalam kegiatan pembelajaran sejarah, kita akan menemukan bahwa
Pembelajaran akan menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya peserta didik
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah
dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi peserta
didik materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori peserta didik, sihingga tidak
akan mudah dilupakan
Yang
terpenting adalah Dalam kegiatan pembelajaran yang merekontruksi kembali
kehidupan masa silam tersebut, peserta didik dapat menemukan jati dirinya
sebagai generasi muda Indonesia yang berjiwa nasionalisme yang mencintai
sejarah bangsanya sebagai modal untuk bersaing era globalisasi.
Jadi
jelaslah bahwa belajar sejarah bukan sekedar menghafal dan memahami suatu
kejadian pada masa silam. Belajar sejarah harus bermuara pada tindakan dan
kehidupan nyata.
#Salam!
1 komentar:
Up
Post a Comment